NILAI adalah sesuatu yang padat makna. Bermakna bagi pemeliharaan alam, bermakna bagi pembangunan diri sebagai individu yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bersama yang dinamis, harmonis dan produktif. Produktif dalam artian menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai material yang seimbang kontinu dan saling terpadu.
Keprabuan Majapahit sebagai kerajaan Hindu di Nusantara pernah mengalami kejayaan yang berhasil mengeksistensikan Nusantara ke tingkat internasional.
Kerajaan Majapahit yang ada di dunia ini tentunya tidak lepas dari hukum Rwa Bhineda. Ada sesuatu yang baik dan benar yang diwariskan, dan ada juga sesuatu yang salah dan buruk yang dihasilkan pada zamannya. Kedua hal itu tentunya dapat dijadikan guru bagi generasi penerus, meskipun kita bukan keturunan langsung Raja Mahapahit. Yang baik dan benar wajib kita lanjutkan bahkan ditingkatkan dan yang salah dan buruk patut kita dalami untuk tidak dilanjutkan agar pengalaman buruk itu tidak terulang lagi pada generasi kita.
Dalam peninggalan zaman Majapahit banyak ada mutiara-mutiara kehidupan universal yang wajib kita pelihara dan lanjutkan. Melanjutkan warisan itu dalam kehidupan ini sebagai salah satu pegangan untuk menuntun kehidupan kita kini dan ke depan. Misalnya, tema Keprabuan Majapahit dengan istilah ''Mitreka Satata'' artinya terus-menerus membina persahabatan yang positif, baik ke dalam kerajaan maupun dengan pihak luar. Karena pada hahikatnya manusia di samping sebagai makhluk individu, juga makhluk sosial. Homo homini sosius artinya manusia adalah sahabatnya manusia. Bukan homo homini lupus manusia adalah srigala bagi manusia lainnya. Begitu Bung Karno sering mengucapkan dalam berbagai kesempatan berpidatonya.
Tema Keprabuan Majapahit itu memiliki nilai kehidupan yang universal. Kapan pun dan di mana pun manusia normal di bumi ini membutuhkan hidup untuk bersahabat secara positif. Dalam kehidupan kini kita membangun persahabatan yang saling menguntungkan, dalam artian positif semakin dibutuhkan oleh zaman. Dari persahabatan yang positif itulah dikembangkan kehidupan yang aman dan damai. Kehidupan yang aman dan damai itulah suasana hidup yang dapat menumbuhkan kehidupan untuk membangun kesejahteraan yang adil. Hidup aman damai dan sejahtera diamanatkan dalam Manawa Dharmasastra I;89. Ini artinya tema Keprabuan Majapahit sudah sejalan dengan ajaran pustaka suci Hindu. Nilai universal lainnya tertuang dalam tujuan negara Majapahit yang disebut Dharma Negara.
Dharma Negara atau tujuan Negara Majapahit dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno sebagai berikut: ''Kadigwijayan ira narendara ring praja'' yang artinya kejayaan beliau sang raja di hati masyarakat. Raja akan jaya di hati masyarakat apabila sang raja berhasil mengisi hati rakyat menciptakan rasa aman dan sejahtera bagi bagi masyarakat. Ini artinya raja mengutamakan kepentingan rakyat. Karena itu dalam Pustaka Negara Kertagama dinyatakan setiap bulan Cetra sekitar Maret ada rapat kerajaan selama tiga hari untuk membahas berbagai hal tentang kebutuhan rakyat. Pada hari ketiga barulah Baginda Raja mengumumkan tentang apa yang tidak boleh dilanjutkan tahun selanjutnya dan apa yang boleh dilanjutkan untuk membuat rakyat aman dan sejahtera. Karena itu pada zaman Majapahit, Nyepi itu tiga hari lamanya.
Untuk membangun kehidupan yang aman damai (Raksanam) dan sejahtera yang adil (Dhanam) dibutuhkan pemimpin yang memiliki komitmen moral dan mental yang tangguh. Karena itu pada zaman Majapahit kriteria seorang pemimpin disebut Catur Kotamaning Nrepati. Artinya, empat ciri utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu: Jnyana Wisesa Sudha, Kaprahitaning Praja, Kawiryan dan Wibawa.
Jnyana Wisesa Sudha artinya pemimpin terutama raja harus menguasai ilmu pengetahuan suci yang disebut Jnyana. Memimpin tidak bisa hanya mengandalkan insting semata. Jnyana dalam Bhuwana Kosa dinyatakan sebagai sumber penyucian tertinggi di samping Patra, Jala, Pertiwi dan Bhasma yaitu daun, tanah, air dan abu suci. Berbagai masalah publik tidak bisa diatasi kalau tidak menggunakan ilmu pengetahuan suci.
Kaprahitaning Praja artinya pemimpin pada zaman Mahapahit harus memiliki rasa belas kasihan yang mendalam pada rakyat. Dari rasa belas kasihan yang mendalam pada rakyat itu akan
muncul kebijakan pro rakyat yang tepat untuk mengatasi penderitaan rakyat. Pemimpin tidak hidup mewah di atas penderitaan rakyat dengan menggunakan uang rakyat.
Dewasa ini ada sementara pejabat menggunakan uang rakyat untuk membuat kantor tempat kerja sang pejabat yang supermewah, mobil mewah dengan berbagai fasilitas hidup yang serba mewah. Di lain pihak berbagai fasilitas umum tidak mendapat perhatian, seperti gedung sekolah, puskesmas, jalan desa compang camping, irigasi untuk pertanian rusak dan mampet di sana sini.
Kalau kita ingin melanjutkan konsep ''Kaprahitaning praja'' adanya rasa belas kasihan pada rakyat harusnya pejabat itu mengutamakan terlebih dahulu fasilitas pelayanan publik, bukan untuk kenikmatan hidupnya sendiri yang diutamakan.
Kawiryan artinya berani dengan tegas melakukan apa yang sudah diyakini benar, baik dan tepat. Berani di sini bukan berarti berani melawan siapa saja yang mengkritiknya. Keberanian yang paling hebat adalah berani melawan diri sendiri. Berani untuk mengekang hawa nafsu, terlebih dalam menetapkan gaya hidup sederhana tidak kepincut hidup hedonis menggunakan uang rakyat. Berani melawan musuh dalam diri sendiri. Nitisastra menyatakan: “Norana satru mengelewihaniing ana geleng ri hati” yang artinya tidak ada musuh yang lebih hebat dari musuh yang ada dalam diri sendiri. Kawiryan dalam hal ini berarti keberanian untuk berjuang memenangkan aspirasi rakyat.
Wibawa artinya masyarakat segan dan hormat pada pemimpinnya, bukan takut. Mengapa segan dan hormat, karena masyarakat merasakan bahwa aspirasinya diperjuangkan sampai berhasil meningkatkan kualitas hidupnya.
Hal ini baru sebagian kecil dari mutiara kehidupan yang bernilai tinggi dan universal yang dikandung dalam kehidupan Keprabuan Majapahit.
[Balipost Minggu, 13 Nopember 2011 – Mimbar Agama Hindu]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar