UPACARA RITUAL TIWAH DILAKSANAKAN UMAT HINDU KAHARINGAN DI KUALA KURUN

Upacara Tiwah

Ritual Tiwah adalah sebuah prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung.

sandung
Sandung
Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalteng. Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Hindu Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja.

Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.

Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.

Pada tanggal 8 April 2016 yang lalu menurut informasi dari teman Facebook Naro Rusida, telah dilaksanakan Upacara Tiwah di Kuala Kurun. Adapun rangkaiannya anatara lain :

LALUHAN (Membalas/mengantarkan bantuan dalam Upacara Ritual Tiwah) berupa beras, hewan kurban dan kebutuhan lain yang diperlukan dalam upacara ritual Tiwah. Sedangkan lanting atau rakit yang dibuat untuk mengantar bantuan ini disebut PALALUHAN. Ritual laluhan adalah sebuah prosesi mengantar pemberian atau hadiah bagi warga Dayak Ngaju khususnya yang menganut agama Hindu Kaharingan ketika saudara atau tetangga kampung mereka akan melaksanakan salah satu upacara ritual yang dilakukan pada saat Tiwah yakni upacara pengangkatan tulang belulang seseorang yang sudah meninggal dan dikubur, kemudian dipindahkan ke suatu bangunan kecil yang disebut sandung.

Tujuan laluhan adalah meringankan beban keluarga atau kampung yang menyelenggarakan upacara tiwah. Pemberian yang diterima penyelenggara upacara ritual tiwah akan dibayar pada saat si pemberi menyelenggarakan pesta yang sama.

Upacara pengiriman laluhan itu sendiri menggunakan rakit atau perahu dengan berbagai hiasan janur yang dibentuk sedemikian rupa hingga terlihat begitu indah. Semua barang-barang yang akan diantarkan itu dimuat di dalam perahu. Di samping memuat barang bawaan yang nantinya akan diserahkan kepada yang akan melaksanakan upacara Tiwah, di dalam perahu juga disertakan pula gamelan-gamelan seperti gong, kenong, dan gendang untuk mengiringi mereka bernyanyi malahap (meneriakkan pekik sukacita) dan menari-nari sepanjang perjalanan mengantar barang laluhan tersebut.
 
Jenis-jenis barang laluhan sendiri terbagi menjadi tiga jenis tergantung barang apa yang mereka bawa yaitu laluhan metu jika yang mereka bawa adalah binatang ternak, laluhan daun jika yang mereka bawa adalah daun-daunan untuk menanak nasi dan laluhan sapandu jika yang mereka bawa adalah patung-patung kayu yang berguna untuk mengikat hewan yang nantinya akan dikurbankan pada saat upacara Tiwah.
TANTULAK. Sebelum upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian, orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam surga. Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara tiwah.

Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun, sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau, sapi, dan babi.

Tiwah

Upacara Tiwah
 

SABABUKA DALAM UPACARA RITUAL TIWAH.

Suku Dayak Kalimantan Tengah memiliki kerajinan tang­an berbentuk topeng yang diberi na­ma Sababuka. Topeng ini asli hasil krea­si budaya masyarakat Suku Dayak Kal­teng. Topeng ini dibuat untuk Habukung atau Babukung. Bukung atau Habu­kung adalah sosok manusia yang meng­hi­as dirinya menjadi seperti han­tu atau jin dengan muka bercoreng, dada ber­ukir, lalu menggunakan asesoris dari daun kelapa dan daun ribuan atau ada juga dengan topeng yang disebut bu­kung raja.

Topeng Sababuka biasa akan terlihat pada upacara kematian. Topeng ini bia­­sanya digunakan pada malam hari oleh se­jumlah pe­nari sambil membunyi­kan alat-alat mu­sik untuk mengiringi ma­yat yang akan dikubur.

Topeng ini juga terkadang dipakai da­lam ritual Tiwah. Tiwah ada­lah ritual kematian tingkat terakhir masyarakat Da­yak yang beragama Hindu Kaharingan berupa pemin­dah­an tul­ang belulang leluhur dari ma­kam ke san­dung dengan maksud roh leluhur bi­sa mencapai tempat lebih tinggi dan mulia. Dalam upacara ini diisi juga de­ngan pesta dengan menggunakan hewan korban berupa  (sapi,kerbau,atau babi).

Motif topeng Sababuka sendiri dapat ber­upa wajah seram atau menakutkan de­ngan hi­dung panjang, mata besar, ber­ta­ring atau memiliki gigi tajam, dan li­dah menjulur keluar. Seperti yang terlihat dalam Ritual  tiwah dikuala Kurun Kabupaten Gunung Mas April 2016 ini. Di Balik fungsinya itu, topeng memili­ki nilai seni dan artistik yang tinggi. Ba­han topeng sendiri biasanya berasal dari kayu gabus atau kayu lunak lai­nnya.

topeng sababuka
Dengan menggunakan topeng Saba­bu­ka, masyarakat Dayak ingin menun­ju­kan bahwa mereka sangat memperha­ti­kan keseimbangan antara kehidupan dan kematian. Oleh karena itu, ritual yang berhubungan dengan kehidupan maupun kematian sangat diperhatikan. Demikianlah keunikan budaya di Indonesia yang harus tetap kita lestarikan sepanjang hayat.

Sumber :
1. Naro Rusida
 

5 komentar: