Tumpek Krulut tumbuhkan Taksu dalam diri

Om Swastyastu
Akan semakin indah bila manusia bisa mengistirahatkan dirinya secara sempurna dalam kesadaran tanpa pikiran dualistik justru tatkala badannya masih hidup.

Sejak awal yang tidak berawal hingga akhir yang tidak berakhir, siang bergantian dengan malam, kebaikan saling menerangi dengan kejahatan, kesuksesan berpelukan dengan kegagalan.

Dalam bahasa tetua Bali: rwa bhinedane tampi. Bila terang cahaya pemahamannya seperti ini, tugas berikutnya hanya satu melaksanakan kasih sayang.

Dalam bahasa seorang Guru, kapan Ayah akasa (ruang, langit) memeluk lembut Ibu pertiwi, itulah pencerahan.

Maknanya, saat kesadaran yang sudah seluas ruang (bisa memberi tempat pada apa saja dan siapa saja), diisi kegiatan mengolah semuanya menjadi bunga (sebagaimana bumi), di sana muncul cahaya terang keagungan.

Meminjam nama sebuah Pura warisan tetua Bali di kawasan Batu Karu Tabanan, inilah Taksu Agung. Taksu adalah salah satu kausa kata dalam bahasa Bali yang sulit diterjemahkan. Ada karisma, wibawa, cahaya, namun tetap ada makna yang tidak terungkapkan. Dan karisma ini bukan sembarang karisma, tapi karisma yang dipeluk keagungan. Bukan keagungan yang diikuti keangkuhan, melainkan keagungan yang berintisarikan kasih sayang.

Bila sebagian pesan agama meletakkan kasih sayang sebagai perintah yang diharuskan, dalam Taksu Agung kasih sayang serupa air yang lembut, mirip bumi yang mengolah apa saja menjadi buah dan bunga. Sebagaimana air tidak bisa dipisahkan dengan kelembutan, Taksu Agung tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Sebagai hasilnya, apa saja boleh terjadi dalam kehidupan (termasuk berita menjadi mencerca, mencerca menjadi berita), tetapi secara alamiah semuanya diolah menjadi buah dan bunga kehidupan.

Rahajeng Rahinan Suci Tumpek Klurut, Semoga Taksu Agung semakin tumbuh dalam kehidupan kita. Manggalamastu

Om Santih Santih Santih Om

Sumber : Jro Mangku Danu

1 komentar: