Sang Hyang Widhi Tidak Perlu Kacamata



Sang Hyang Widhi Tidak Perlu Kacamata
Oleh : Hira Ghindwani

“Nyepi Sale!! Beli Lensa gratis Frame” begitu bunyi beberapa spanduk di jalan-jalan Bali, termasuk yang menuju bandara Ngurah Rai, menjelang Hari Raya Nyepi yang lalu. Saya bertanya-tanya apakah hubungan Nyepi dengan kacamata? Apakah berhening diri membutuhkan kacamata? Tapi, obral menjelang Nyepi tidak hanya untuk kacamata, tapi juga motor, hotel, pakaian dan barang-barang lain. Sejak 2003 ketika saya mulai hidup di Bali, saya mengamati dan merasakan kesejukan sekaligus ironi pelaksanaan Nyepi di Bali.

Nyepi adalah satu-satunya hari Raya, sejauh pengamatan saya, yang tidak menganjurkan “pesta nan konsumtif”. Beberapa teman saya dari agama lain mulai enggan merayakan hari raya mereka karena merasa disetir pasar. Simak saja berbagai sale menjelang Idul Fitri, Natal atau Tahun Baru. Seluruh makna hari raya keagamaan sudah dikudeta pasar. Kita melihat tingkat konsumsi meningkat, tingkat krimininalitas meningkat karena orang mencoba memenuhi kebutuhan konsumtif yang seolah-olah “diharuskan” pasar, dan tingkat stress meningkat.

Semua hari raya dari semua agama dirayakan dengan doa. Idul Fitri diawali dengan doa bersama pada pagi hari, Natal diawali dengan misa di gereja, Waisak ditandai dengan pemujaan di pura/klenteng, Galungan juga ditandai dengan sembahyang di Pura, Deepavali (hari raya ummat Hindu di India) juga ditandai dengan sembahyang. Tapi sembahyang sebagai menu utama pelaksanaan hari raya keagamaan mulai luntur. Menu utama hari raya sudah berubah menjadi konsumsi: baju baru, kue, dan parsel hadiah untuk atasan, relasi dll. Sekarang hari raya sudah dikudeta pasar. Hari raya adalah pesta konsumtif; sembahyang adalah tujuan sampingan, atau bahkan sudah menjadi selingan.
Tidak seharusnya demikian dengan Nyepi. Ini adalah satu-satunya hari raya, sepanjang pengetahuan saya, yang justru “tidak bersekutu dengan pasar”. Keempat prinsip “amati” justru merupakan antitesis dari konsumerisme. Amati karya tidak melakukan kerja berarti bukan hanya libur dari kantor tapi juga tidak melakukan kerja di rumah. Amati Geni, tidak menyalakan api adalah agar tidak memasak, mengajak berpuasa. Amati lelungan tidak membuat hari raya jadi liburan ke luar kota karena ini berarti tidak bepergian. Amati lelanguan, tidak mencari hiburan, jadi tidak menyalakan TV, radio, musik dll. Yang artinya tidak menyalakan listrik. Keempat amati ini mengingatkan manusia untuk mengendalikan konsumsi. Jadi pelaksanaan Nyepi tidak harus dengan baju baru (apalagi kacamata!), dengan aneka makanan atau dengan menonton TV. Jadi, seyogianya pasar tidak punya tempat di hari itu. Seharusnya.

Celakanya seperti banyak hari raya lain, Nyepi juga sudah dikudeta pasar. Lihatlah aneka parsel yang dipajang di swalayan untuk “menyambut hari Raya Nyepi”. Atau aneka obral/sale seperti kaca mata yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Belum lagi pasar diserbu manusia, terutama di kota, karena banyak orang justru membeli banyak makanan seolah-olah tidak akan ada makanan lagi di hari esok.
Saudara seorang teman saya (orang Bali, tinggal di Denpasar) bahkan mengajak anak dan istrinya tinggal di hotel dengan alasan agar anak-anak tidak rewel karena tidak boleh menyalakan TV atau lampu. Padahal, aturan banjar memperbolehkan keluarga yang mempunyai anak kecil untuk menyalakan lampu.

Kudeta atas hari raya ini tidak disadari sebagian besar masyarakat. Pandangan umum adalah apa salahnya mencari untung di hari Raya? Apalagi bila konsumen diuntungkan karena harganya menjadi murah bila ada obral. Tidak ada salahnya memang, bila mengikuti hukum pasar bebas. Di pasar, setiap orang berhak menjual sesuatu dan mengiklankan jualannya, setiap orang berhak membeli dan mencari harga termurah. Bila orang hendak membeli kacamata karena harganya murah menjelang Nyepi, juga tidak salah.

Ini bukan soal salah atau benar, tapi lebih tentang nilai, makna dan perilaku yang dianut masyarakat. Ini tentang kekhawatiran bahwa hari raya Nyepi benar-benar akan dikudeta pasar, dan kita di Bali tidak mau dan merasa tidak mampu berbuat banyak. Ini tentang bagaimanakah kita merevitalisasi makna Nyepi yang asalnya sedemikian agung, unik dan sangat relevan di masa modern ini. Kita masih ingat upaya kelompok masyarakat sipil mengadopsi kearifan Nyepi sebagai Hari Hening Sedunia untuk membantu mengurangi gas rumah kaca yang mencemari udara bumi dan menimbulkan perubahan iklim. Nyepi dianggap sebagai kearifan lokal di bidang lingkungan hidup.

Saya tidak bermaksud pesimis tentang Nyepi. Di tengah serangan pasar, globalisasi dan pembangunan yang tidak ramah budaya, tradisi Nyepi masih hidup, masih dilaksanakan. Tidak ada hal seperti Nyepi di semua ujung dunia, sepanjang pengetahuan saya. Ini adalah identitas masyarakat Bali. Tapi identitas ini bisa luntur, perlahan-lahan, tanpa disadari ketika dia hanya dijadikan ritual yang dipaksakan. Identitas ini bisa diperkuat bila makna spiritual, budaya dan lingkungan hidup diselami sehingga pelaksanaan Nyepi adalah atas dasar kesadaran. Nyepi harus dialami, bukan dilaksanakan seperti ritual saja.

Dan, beberapa umat lain ingin mengalami Nyepi. Saya punya teman seorang muslim (berkerudung pula) yang setelah membaca kampanye Hari Hening Sedunia minta agar boleh menginap di rumah saya saat Nyepi. Tahun 2008 ini dia mengalami suasana Nyepi di Bali, dan salah satu komentarnya adalah “wah bisa lihat bintang dan banyak pula”. Sekarang dia menjadi juru kampanye Hari Hening. Ketika kelompok masyarakat sipil menyerukan hari Hening tanggal 21 Maret lalu (dengan mematikan peralatan listrik selama empat jam), ada beberapa keluarga non Bali dan non Hindu yang berbagi tentang pengalaman mereka. Rata-rata mengatakan pertama bingung dengan keheningan dan ’tanpa kegiatan’ tapi kemudian justru menemukan kebersamaan dengan keluarga dan dirinya sendiri.
Akhir kata, saya hanya ingin kita bersama-sama menjaga agar Nyepi tidak dikudeta pasar di Bali. Karena Sang Hyang Widhi tidak perlu kacamata!!

Sumber : Media Hindu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar